Legenda musik Indonesia Harry Roesli menerima tanda kehormatan dari Presiden Indonesia Joko Widodo. Ia dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma pada hari ini, Rabu (14/8).
Harry Roesli menerima penghargaan sebagai sosok yang berkecimpung di bidang seni budaya. Tanda jasa dan kehormatan itu diterima oleh istri sekaligus ahli waris Harry Roesli, Kania Handiman Roesli.
Harry Roesli lahir dengan nama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli pada 10 September 1951. Darah seniman Harry Roesli turun dari sang kakek, pujangga besar Indonesia Marah Roesli.
Namun, sedikit berbeda dari kakeknya, Harry Roesli memilih musik sebagai panggilan jiwa. Masa kecil Harry Roesli nyaris tidak ada yang kurang.
Ia lahir sebagai anak bungsu dari keluarga berada, anak seorang Mayjen TNI Roeshan Roesli, dan seorang dokter. Ia tumbuh dalam pendidikan yang baik, hingga diterima di Teknik Mesin Institut Teknik Bandung yang dikenal prestise pada 1970-an.
Namun, semua kemegahan dan kehidupan di kampus prestise itu ditinggalkan demi dapat mendalami musik, menyuarakan keadilan sosial, dan rela mengajarkan para musisi jalanan agar tak menjadi ‘preman’.
Harry memutuskan meninggalkan ITB kala sudah duduk hingga tingkat empat dan memilih kuliah musik di Institut Kesenian Jakarta. Ia terus mempelajari dan mengembangkan musik hingga menerima beasiswa mendalami musik di Rotterdam Conservatorium, Belanda.
Ia juga dikenal sebagai musisi serba bisa. Memulai dengan membentuk Gang of Harry Roesli pada 1971 dan merilis album Philosophy Gang di tahun yang sama, Harry Roesli membuat geger dunia musik.
Harry Roesli dikenal sebagai musisi serba bisa dengan keahlian tak hanya sebatas gitar, melainkan juga gong, gamelan, drum, botol, kaleng bekas dan kliningan. Kemampuan yang langka di eranya.
Karyanya pun monumental. Harry mampu menggabungkan berbagai instrumen musik secara bersamaan namun berirama. Selain itu, nyaris mustahil menempatkan satu genre dalam sebuah karya seorang Harry Roesli.
Beberapa karya Harry Roesli yang legendaris, yakni Malaria, Ken Arok, hingga Jangan Menangis yang terinspirasi dari Peristiwa Malari 1974.
Harry Roesli menikah dengan Kania Perdani Handiman. Mereka dikaruniai dua orang anak dari pernikahan itu, yakni Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana.
Harry Roesli meninggal dunia di usia 53 tahun pada 11 Desember 2004. Ia tutup usia di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, pada hari itu pukul 19.55 WIB.