Wakil Ketua Umum Vibrasi Suara Indonesia (VISI) Ariel NOAH menjelaskan alasan kelompok musisi itu mengajukan permohonan uji materiel UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia mengatakan permohonan itu datang dari para anggota VISI yang resah soal polemik royalti. Mereka merasakan ada ketidakpastian, terutama setelah kelompok tertentu mengumumkan direct licensing sebagai metode pembayaran royalti alternatif di luar LMKN.
“Paling besar kerugiannya itu ketidakpastian. Jadi kami semua penyanyi sudah terbiasa dengan peraturan pemerintah,” ujar Ariel di kawasan SCBD.
“Kalau sekarang ada direct licence dan ini enggak resmi ya jadi bikin kita bingung. Yang mau kita dengar siapa, pemerintah atau yang lagi ramai ini?” lanjutnya.
Ariel lantas mempersoalkan pembayaran direct license karena dinilai tidak jelas riset dan penetapan tarifnya. Di sisi lain, regulasi pembayaran royalti yang diatur Undang-undang Hak Cipta juga masih memicu perdebatan.
Kebingungan itu pun menjadi awal dari langkah VISI mengajukan permohonan uji materiel ke MK. Ariel menegaskan kebingungan itu menyebabkan kerugian bagi penyanyi yang aktif membawakan berbagai lagu di atas panggung.
“Kalau direct licence memang kan belum dan pajaknya enggak tahu riset dari mana tarifnya. Akhirnya kita ya hidup dalam ketidakpastian. Jadi kerugian paling utama ada kebingungan,” ujarnya, seperti diberitakan detikPop pada Kamis (20/3).
Permohonan uji materiel yang diajukan VISI terdaftar dengan nomor 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025. Gerakan Satu Visi menjelaskan pihaknya resmi mengajukan uji materiel terhadap lima pasal dalam UU Hak Cipta.
Menurut keterangan resmi, lima pasal yang diuji itu berusaha memastikan beberapa hal mengenai hak cipta dan performing rights, mulai dari izin membawakan lagu ke pencipta lagu.
VISI juga meminta kejelasan soal definisi pengguna yang secara hukum diwajibkan membayar royalti performing rights. Sebab, kata “pengguna” di UU Hak Cipta masih jadi perdebatan karena multitafsir.
Beberapa pihak menilai kata itu merujuk pada penyelenggara yang mengundang penyanyi, ada pula yang meyakini bahwa penyanyi termasuk kepada pihak pengguna dan harus membayar performing rights.
Kemudian, kelompok itu mempersoalkan legalitas individu atau badan hukum yang memungut dan menentukan tarif royalti di luar regulasi di LMKN atau Peraturan Menteri. VISI juga meminta kepastian status wanprestasi royalti termasuk kategori pidana atau perdata.
Sementara itu, sidang perdana uji materiel itu akan dilaksanakan di Mahkamah Konstitusi pada 24 April 2025.